Toleransi Berseri di Ujung Negeri

UGM mewajibkan mahasiswa S1 dan D4 untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan cukup banyak dari mereka yang memilih untuk ber-KKN di pelosok negeri, jauh dari Kampus UGM di Yogyakarta. Tahun ini saya mendapat kepercayaan mendampingi sekelompok mahasiswa untuk ber-KKN di Desa Dalum, Kecamatan Salibabu, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Secara singkat, kami biasa menyebutnya KKN Talaud.

Talaud adalah kabupaten paling utara di Indonesia dan sangat banyak orang Indonesia yang bahkan tidak mengetahuinya sama sekali. Setiap kali saya bercerita tentang Talaud, saya harus mengutip lagu iklan Indomie “dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai ke Talaud”. Menariknya, tidak sedikit yang kemudian heran dan baru sadar bahwa ada kata Talaud dalam lagu itu. Rupanya sangat banyak yang mendengar “dari Sabang sampai Merauke, dari Timor sampai Kota Laut”. Tentu saja maknanya berbeda dan hilang satu titik penting di negeri ini: Talaud, kabupaten paling utara negeri.

Selepas menikmati tiga penerbangan panjang: Jogja-Jakarta, Jakarta-Manado, Manado-Melonguane, saya tiba di sebuah bandara kecil, Melonguane. Dari situ kami bergerak dengan becak motor ke dermaga lalu melanjutkan perjalanan dengan boat bermesin tempel. Perjalanan ke Desa Dalum selanjutnya ditempuh dengan kendaraan selama hampir satu jam. Dari rumah ke rumah, saya menempuh tidak kurang dari 15 jam perjalanan. Lelah memang, tetapi semua terbayar ketika saya melihat para mahasiswa yang sumringah menyambut.

Desa Dalum berpenduduk 100% Nasrani. Nyanyian geraja berkumandang dari pengeras suara di hampir setiap rumah. Alunan musik tahun 90’an juga dengan mudah bisa didengarkan dari berbagai pengeras suara yang dipasang tinggi. Tidak ada yang protes, tidak ada yang terganggu oleh musik yang diputar tetangganya. Ini pelajaran nomor satu tetang hubungan antartetangga. Toleransi adalah juga soal tradisi.

Saya tiba di Dalum saat hari-hari terakhir puasa dan sebagian besar dari perserta KKN berpuasa. Berpuasa di Dalum, saat tidak ada Masjid sama sekali dan berlatar lagu Gerejawi, pasti tidak mudah bagi mereka. Meski demikian, saya sama sekali tidak melihat kesedihan atau keterpaksaan. Cuaca Dalum yang panas memang membuat mereka berwajah sayu, terutama di siang hari, namun sayu mereka adalah sayu karena kelelahan fisik, bukan karena penderitaan batin. Setidaknya saya melihatnya demikian.

Idul Fitri tiba, para mahasiswa muslim berangkat ke Lirung, satu-satunya tempat di Talaud yang memiliki Masjid, untuk menjalankan Sholat Ied. Mereka mengendari beberapa mobil pick up dan dilepas oleh induk semang masing-masing. Tiga puluh mahasiswa yang berKKN itu memang tinggal di 11 rumah penduduk sehingga ada 11 pasang tuan rumah bagi mereka. Saya melihat pemandangan yang baik di pagi itu. Wajah-wajah sumringah mahasiswa karena telah berhasil melewati Bulan Ramadhan bercampur dengan kegelisahan karena tidak bisa berkumpul bersama keluarga. Semua itu terobati dengan kebaikan hati para induk semang yang telah menemani mereka melewati Ramadhan dengan khusu’ dan tuntas.

Di malam terakhir kunjungan, masing-masing mahasiswa saya minta bercerita. Seorang mahasiswa Fisipol mengisahkan pengalamannya bersama seorang mahasiswa Geografi tinggal di rumah induk semang yang masih muda. Jam tiga pagi di hari kedua, mahsiswa ini terjaga untuk menyiapkan sahur. Ketika dia menuju ke dapur, terdengar suara sedikit gaduh. Ternyata induk semang mereka tengah masak menyiapkan sahur untuk mereka. “Sebagai anak kos, saya biasanya sahur dengan satu tahu bakso sisa semalam Pak”, kata mahasiswa ini mengingat Ramadhannya yang sederhana, “tapi di sini Pak, hidangan sahur sangat lengkap dan itu disiapkan oleh induk semang kami yang bahkan tidak menjalankan ibadah puasa. Saya mau nangis rasanya Pak.” Cerita ini membuat mahasiswa lainnya terdiam.

Seorang mahasiswa lainnya mendapat giliran. “Saya merasa menemukan masa kecil saya yang sempat hilang Pak” katanya. “Dulu saya tinggal di sebuah tempat dan saat itu saya berteman dengan seorang Nasrani. Kami biasa bermain bola dan ketika waktunya tiba, kami biasa saling antar untuk menjalankan ibadah. Ketika saya sholat, teman saya menunggu saya di masjid dengan sabar. Sebaliknya, ketika di beribadah di Gereja, saya akan menunggunya dengan setia sebelum bermain bola. Saya menemukan suasana itu lagi di sini, dengan anak-anak kampung ini. Saya seperti diingatkan tentang sebuah pelajaran penting. Saya bertekad, saya akan tetap menjaga sikap ini ketika sudah pulang nanti.”

Mendengar mereka bercerita dengan semangat dan menjiwai, saya terbawa. Seorang mahasiswa lain mengatakan bahwa keberadaannya di Dalum itu mengingatkan dia bahwa Indonesia memang luas dan beragam. Indonesia bukanlah tentang sekelompok orang atau aliran tertentu. KKN ini membuatnya mencintai Indonesia lebih dari mereka pernah rasakan. “Saya beruntung ada di sini Pak. Saya ingin mengenal Indonesia lebih baik lagi. Jika Tuhan mengizinkan, saya juga ingin menjelajah dunia untuk menguatkan sikap hidup yang lebih tebuka” katanya mantap. Saya hanya tersenyum. Menyimak sambil berlajar.

Malam itu, saya merasakan perbedaan ketika kosakata seperti Pancasila, toleransi, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD45 diucapkan dengan penuh perasaan. Kosakata itu berjiwa, dan memberi roh pada hastag media sosial yang viral berbunyi #SayaIndonesia atau #SayaPancasila.

Saya tiba-tiba saja ingat Koesnadi Hardjasoemantri. Di tahun 1950an dulu, beliau adalah salah satu mahasiswa KKN (waktu itu bernama Pengerahan Tenaga Mahasiswa) di Kupang dan kelak kita kenal sebagai Rektor UGM periode 1986-1990. Jika Koesnadi muda ketika itu berhasil menemukan anak desa cemerlang bernama Adrianus Mooy yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia, mahasiswa KKN Talaud telah menemukah setitik wibawa Pancasila dalam wujud toleransi yang menyentuh hati. Jika masih ada yang bertanya pada saya “untuk apa sih berKKN?” maka saya dengan mantap sa katakan, mempertahankan KKN adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah diambil oleh Universitas Gadjah Mada.

I Made Andi Arsana adalah Dosen Teknik Geodesi, Dosen Pembimbing Lapangan KKN Universitas Gadjah Mada di Desa Dalum, Salibabu, Talaud.

One Reply to “Toleransi Berseri di Ujung Negeri”

Leave a Reply to Ajeng Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *