Berebut Ikan di Laut Tiongkok Selatan

Pengantar
Sebuah kapal nelayan milik Tiongkok, Hwai Fey, ditengarai memasuki kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS) di dekat Kepulauan Natuna dan melakukan penangkapan ikan pada tanggal 19 Maret 2016. Kapal tersebut coba ditangkap oleh petugas Indonesia karena posisi kapal itu diyakini berada di perairan Indonesia, dalam hal ini di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Menariknya, kapal nelayan itu kemudian ‘diselamatkan’ oleh kapal lain milik Tiongkok yang seakan berlaku sebagai ‘pengawal’. Ditegaskan oleh ‘pengawal’ itu bahwa kapal nelayan tersebut tidak memasuki perairan Indonesia dan mereka beraktivitas di perairan Tiongkok. Dalam penyataan resmi oleh pejabat Tiongkok, konon kapal nelayan tersebut diyakini beraktivitas di tempat penangkapan ikan tradisional alias traditional fishing ground Tiongkok. Singkat cerita, Indonesia yakin kapal itu memasuki perairan Indonesia, Tiongkok juga yakin bahwa kapal itu masih berada di perairan Tiongkok. Gambar 1 berikut menunjukkan lokasi LTS yang dicuplik dari Peta NKRI 2015.

Gambar 1 Lokasi Laut Tiongkok Selatan
Gambar 1 Lokasi Laut Tiongkok Selatan (link gambar: http://bit.ly/NKRI-LTS)

Pertanyaan penting yang dijawab tulisan itu adalah “benarkah Tiongkok melakukan pencurian ikan di laut Indonesia?”. Secara khusus, tulisan ini membahas klaim laut oleh negara-negara di sekitar LTS, batas maritim yang sudah ada di LTS, insiden tanggal 19 Maret 2016, serta kemungkinan penyelesaian kasus.

Klaim dan Batas Maritim di LTS
Dewasa ini, klaim atas kawasan maritim diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut alias United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Indonesia dan Tiongkok sama-sama telah mengakui/meratifikasi UNCLOS dalam hukum domestik mereka. Artinya kedua negara telah mengakui ketentuan hukum yang ada di UNCLOS dan selayaknya menerapkan aturan tersebut dengan konsekuan.

Menurut UNCLOS, negara pantai seperti Indonesia dan Tiongkok berhak atas kawasan laut yang lebarnya diukur dari garis pangkal (umumnya garis pantai). Kawasan laut itu meliputi laut territorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), ZEE (200 mil laut) dan Landas Kontinen alias dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut.

Indonesia memiliki hak maritim di LTS yang diukur dari pulau paling utara Kepulauan Natuna. Meskipun punya hak, perlu diingat bahwa di sekitar kawasan itu juga ada negara lain dengan hak yang sama, yaitu Malaysia dan Veitnam. Masing-masing tentu memiliki usulan sendiri-sendiri sesuai dengan hak mereka menurut UNCLOS. Seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam juga telah mengakui/meratifikasi UNCLOS.

Sementara itu, Tiongkok mengajukan klaim terhadap sebagian besar LTS dengan mengeluarkan peta tahun 1947. Klaim ini berupa garis putus-putus yang kini dikenal dengan nine-dashed line (NDL). Klaim ini tidak berdasarkan UNCLOS karena saat itu memang belum ada UNCLOS. Menurut Tiongkok, klaim ini bedasarkan alasan sejarah. Singkatnya, menurut Tiongkok, sebagian besar kawasan LTS itu memang milik nenek moyang Tiongkok sejak dulu kala. Yang menarik, kini Tiongkok sudah mengakui UNCLOS dan ternyata klaim tahun 1947 itu tidak disesuaikan dengan kaidah UNCLOS.

Klaim NDL ini tidak bedasarkan jarak tertentu dari daratan Tiongkok di LTS. NDL dibuat sedemikian rupa sehingga nampak tanpa dasar yang jelas tetapi memang melingkupi pulau-pulau kecil/karang di LTS yang dikenal dengan Kepulauan Spratly. Selain itu, Tiongkok juga tidak menjelaskan apakah NDL ini untuk mengklaim pulau saja atau juga untuk mengklaim kawasan laut di sekitar pulau-pulau tersebut. Klarifikasi yang diinginkan oleh negara lain atas NDL belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini.

Klaim NDL ini mendapat tentangan dari hampir semua negara di kawasan termasuk negara lain di dunia. Indonesia termasuk yang dengan tegas menolak hal ini dan meminta klarifikasi Tiongkok sejak tahun 1995. Sayangnya, Tiongkok tidak memberi jawaban yang memuaskan. Klaim NDL ini juga tidak akurat dari segi geospasial. Peta yang digunakan untuk menunjukkan klaim ini tidak menggunakan sistem koordinat yang memadai sehingga posisi potongan garis NDL menjadi tidak presisi/akurat.

Pada tahun 2009, untuk pertama kalinya Tiongkok menyajikan NDL ini dalam peta resmi berkoordinat cukup akurat ketika memprotes pengajuan landas kontinan oleh Malaysia dan Vietnam. Peta ini diajukan kepada PBB sehingga kini menjadi obyek yang berada di domain publik. Peta tahun 2009 itulah yang kini banyak digunakan berbagai pihak untuk menganalisis klaim maritim Tiongkok di LTS. Peta tahun 2009 itu ditunjukkan dalam Gambar 2 berikut:

Gambar 2 Nine-dashed Line, Klaim Tiongkon di Laut Tiongkok Selatan
Gambar 2 Nine-dashed Line, Klaim Tiongkon di Laut Tiongkok Selatan (link gambar: http://bit.ly/TiongkokLTS)

Jika berpedoman pada UNCLOS maka klaim Indonesia, Malaysia dan Vietnam memang menimbulkan tumpang tindih. Ketiganya tidak bisa mengklaim laut dengan leluasa seperti yang diatur UNCLOS karena ruang yang tidak cukup akibat jarak ketiganya yang berdekatan. Oleh karena itu, ketiganya harus berbagi laut dan sudah menetapkan garis batas maritim yaitu tahun 1969 (Id-My) dan tahun 2003 (Id-Vn). Batas maritim yang sudah ditetapkan ini hanya untuk berbagi dasar laut (landas kontinen) sedangkan garis batas untuk air laut (ZEE) belum ditetapkan.

Meski belum disepakati, Indonesia sudah mengajukan usulan batas ZEE yang diklaim secara sepihak (unilateral). Klaim sepihak inilah yang nanti menjadi dasar bagi Indonesia ketika berunding dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Vietnam. Klaim sepihak ini juga sudah dituangkan ke peta resmi Indonesia, salah satunya adalah Peta NKRI yang dikeluarkan bulan Mei 2015. Pada Peta NKRI 2015 ini jelas terlihat batas landas kontinen yang sudah ditetapkan dengan Malaysia dan Vietnam serta batas ZEE yang merupakan klaim sepihak Indonesia.

Menurut Indonesia, batas kewenangan Indonesia atas air laut di LTS ‘sudah jelas’ meskipun batas-batas ini baru sebatas klaim sepihak yang masih perlu disepakati dengan Malaysia dan Vietnam. Garis-garis inilah yang dijadikan dasar oleh Indonesia dalam mendefinisikan ruang lautnya, termasuk untuk mengelola sumber daya ikan. Secara khusus ruang laut Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dan yang di LTS masuk dalam WPP 711. Klaim dan batas maritim yang sudah disepakati di LTS disajikan dalam Gambar 3 berikut.

Gambar 3 Garis batas dasar laut dan garis klaim ZEE di LTS
Gambar 3 Garis batas dasar laut dan garis klaim ZEE di LTS (link gambar: http://bit.ly/InaKlaim)

Sementara itu, Indonesia memang tidak pernah menganggap Tiongkok sebagai negara yang memerlukan batas maritim dengan Indonesia. Dengan istilah lain, Tiongkok bukanlah tetangga bagi Indonesia dalam hal batas maritim. Pada prinsipnya, negara yang dianggap tetangga dan memerlukan batas maritim adalah negara yang cukup dekat posisinya sehingga hak maritimnya tumpang tindih dengan Indonesia. Hak maritim yang dimaksud tentu saja yang ditentukan berdasarkan kaidah dalam hukum laut internasional yaitu UNCLOS. Bagi Indonesia, dan juga negara-negara di kawasan, hak maritim Tiongkok tidak sampai tumpang tindih dengan hak maritim Indonesia karena daratan yang dijadikan dasar mengukur klaim laut berada sangat jauh di utara. Jika tidak ada tumpang tindih hak maka tidak perlu ada penetapan batas maritim dan itu artinya bukan tetangga.

Indonesia VS Tiongkok
Tadi sudah jelas dikatakan, Indonesia tidak menganggap Tiongkok sebagai tetanga. Di mata Indonesia, NDL tidak ada dan penegasan ini sudah dilakukan ketika Tiongkok mengajukan peta ini lewat PBB tahun 2009. Menariknya, meskipun tidak diakui oleh negara lain, ternyata Tiongkok tetap bersikukuh dengan posisinya bahwa NDL adalah garis yang melingkupi wilayah atau yurisdiksi Tiongkok. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas nelayan Tiongkok di lokasi-lokasi yang dilingkupi oleh NDL meskipun itu sangat amat jauh dari daratan utama Tiongkok.

Untuk menganalisis ruang laut antara Indonesia dan Tiongkok, tulisan ini menggunakan klaim resmi Indonesia di Peta NKRI dan NDL di Peta 2009 Tiongkok. Mungkin ada yang bertanya, bukankah NDL itu tidak diakui negara lain termasuk Indonesia, mengapa digunakan dalam analisis ini? Faktanya, Tiongkok tetap menggunakan NDL sebagai dasar aktivitas, termasuk ketika terjadi insiden di dekat Natuna. Sederhananya, NDL mungkin memang tidak ada secara legal tetapi secara de fakto tetap digunakan oleh Tiongkok. Untuk bisa melihat insiden ini secara geospasial (keruangan), peta tahun 2009 adalah sumber terbaik yang ada dan cukup ‘bisa dipertanggungjawabkan’ penggunaannya.

Perlu dingat lagi, NDL itu berupa garis putus-putus, bukan garis utuh, sehingga tidak mudah untuk melihat secara teliti kawasan yang dilingkupi oleh NDL. Oleh karena itu, untuk kepentingan analisis maka garis putus-putus itu perlu disambung terlebih dahulu. Bisa dipahami bahwa dalam menyambung garis ini ada seribu satu cara. Yang lebih penting, Tiongkok tidak pernah menegaskan apakah potongan garis ini harus disambung dan bagaimana cara menyambungnya. Semua pihak dibiarkan menebak-nebak dengan penasaran. Satu ‘petunjuk’ yang diberikan Tiongkok adalah berupa kehadirannya di kawasan laut yang ‘dilingkupi’ NDL, itupun dengan asumsi jika NDL itu disambung dengan mengikuti bentuk dasar NDL.

Jika disambung dengan garis kurva, NDL akan membentuk ruang seperti hurup U yang memuat sebagian besar LTS. Oleh karena itulah klaim Tiongkok ini juga dikenal dengan U-shaped line. Untuk kepentingan analisis ini, saya meyambungkan NDL sehingga membentuk kurva alias hurup U ini. Dari sini bisa terlihat dengan jelas bahwa ada ruang tumpang tindih antara klaim Indonesia dengan klaim Tiongkok di LTS. Jika diperhatikan, ruang tumpang tindih itu cukup luas seperti yang nampak pada Gambar 4.

Gambar 3 Garis batas dasar laut dan garis klaim ZEE di LTS
Gambar 4 Potensi tumpang tindih klaim (link gambar: http://bit.ly/overlapklaim)

Perlu saya tegaskan lagi, garis-garis batas air laut yang ada di LTS merupakan klaim sepihak yang belum disepakati. Indonesia mengajukan klaim sepihak, demikian pula Tiongkok. Bedanya, klaim Indonesia berdasarkan UNCLOS sedangkan Tiongkok tidak medasarkan klaimnya pada UNCLOS tetapi alasan sejarah. Dari perspektif legal, jelas klaim Indonesia lebih kuat. Selain itu, secara legal, sekali lagi, Indonesia bahkan menganggap klaim Tiongkok itu tidak ada.

Insiden 19 Maret 2016

Jika posisi kapal nelayan Tiongkok diplot di peta sesuai dengan koordinat yang diperoleh petugas Indonesia, maka posisinya adalah di dalam ZEE yang diklaim oleh Indonesia. Dalam perspektif Tiongkok, kapal itu berada di kawasan tumpang-tindih antara Indonesia dan Tiongkok. Bagi Indonesia, tentu saja posisi ini ada di dalam ZEE Indonesia, bukan di kawasan tumpang-tindih, karena bagi Indonesia, klaim Tiongkok itu tidak ada. Di sisi lain, Tiongkok rupanya berketetapan hati menggunakan NDL ini sebagai dasar beraktivitas dan posisi kapal nelayan ini berada sangat dekat dengan sisi terluar NDL. Hal ini seakan menyatakan bahwa Tiongkok memang menegaskan klaim lautnya berdasarkan NDL. Posisi estimasi Hwai Fey bisa dilihat di Gambar 5 berikut.

Gambar 5 Posisi estimasi kapal Hwai Fey milik Tiongkok
Gambar 5 Posisi estimasi kapal Hwai Fey milik Tiongkok (link gambar: http://bit.ly/HwaiFey)

Sebagai negara berdaulat yang mengklaim kawasan laut berdasarkan ketentuan hukum internasional (UNCLOS), Indonesia tentu tidak bisa membiarkan ada nelayan negara lain menangkap ikan di kawasan klaimnya. Bagi Indonesia, kawasan itu bahkan bukan sekedar klaim tetapi merupakan hak yang dilindungi oleh hukum laut internasional meskipun tentunya masih perlu penetapan dengan negara tetangga. Yang lebih penting, tetangga yang dimaksud adalah Malaysia dan Vietnam, bukan Tiongkok.

Ketika kapal nelayan Tiongkok ini ditangkap ternyata datang kapal besar yang seakan ‘mengawal’. Hal ini juga menimbulkan suatu persepsi bahwa mungkin memang ada kesengajaan Tiongkok untuk mengirimkan nelayan ke kawasan yang ‘bermasalah’ itu untuk menunjukkan kehadiran (presence). Untuk menjustifikasi tindakannya, peryataan resmi dari Tiongkok menegaskan bahwa nelayan itu beraktivitas di tempat penangkapan ikan tradisional atau traditional fishing ground milik Tiongkok. Secara sederhana, kawasan itu dianggap oleh Tiongkok sebagai tempat penangkapan ikan yang sudah digunakan oleh Tiongkok secara turun-temurun.

Lepas dari klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan UNCLOS, usaha untuk melindungi warga negaranya tentu bisa dipahami sebagai kewajiban negara. Hal ini sebenarnya sudah terjadi juga tahun 2010, 2013 dan kini 2016. Banyak yang mengatakan ini sebagai siklus tiga tahunan, entah sengaja entah tidak. Atau bisa jadi ini adalah insiden yang diliput media dan ada banyak insiden lain yang tidak terberitakan. Entahlah.

Bagaimana Selanjutnya?

Indonesia tidak bisa membiarkan aktivitas nelayan Tiongkok di dekat Natuna di dalam ZEE yang diklaim Indonesia. Tindakan penangkapan dan protes formal oleh Kementerian Luar Negeri RI merupakan langkah yang tepat. Di satu sisi kita menunjukkan kehadiran kita di kawasan tersebut dan di sisi lain kita menguatkan posisi kita secara diplomatis. Sementara itu, perlu dipahami juga bahwa Tiongkok memang wajib melindungi warga negaranya, salah ataupun benar. Yang perlu dipahami adalah fakta bahwa garis-garis batas air laut yang ada di LTS adalah klaim sepihak, baik oleh Indonesia maupun Tiongkok. Bedanya, adalah dasar klaim tersebut. Indonesia menggunakan hukum laut internasional yaitu UNCLOS sementara Tiongkok mendasarkan pada alasan sejarah, meskipun sebenarnya Tiongkok sudah meratifikasi UNCLOS.

Apakah Tiongkok sebaiknya diajukan ke pengadilan internasional seperti International Court of Justice (Mahkamah Internasional) atau International Tribunal for the Law of the Sea? Ini perdebatan yang menarik. Menurut pendapat pribadi, garis klaim Indonesia, meskipun cukup kuat secara legal, tetap saja masih merupakan klaim sepihak. Malaysia dan Vietnam, yang dianggap sebagai tetangga resmi Indonesia, belum menyepakati garis usulan Indonesia. Ingat, garis batas maritim adalah soal kesepakatan, bukan soal klaim semata. Secara legal, garis batas ZEE Indonesia masih bisa diperdepatkan. Sementara itu, pembahasan insiden dengan nelayan Tiongkok ini tentu harus melibatkan status hukum garis batas ZEE Indonesia. Oleh karena itu, mengadukan kasus ini ke pengadilan internasional mungkin bukan langkah yang strategis. Sebaiknya Indonesia memilih cara lain seperti dialog dan komunikasi bilateral.

Semua pihak di Indonesia perlu memahami duduk perkara kasus ini secara jernih dan sesuai kaidah ilmu pengetahuan dan hukum yang tepat. Hal ini akan membuat respon yang padu dari berbagai pihak/institusi. Selain itu, momen ‘riuh rendah’ seperti ini mengindikasikan adanya kepedulian yang cukup tinggi dari semua pihak akan isu kelautan. Harus diakui bahwa isu kelautan dan kemaritiman kini menempati posisi penting di media dan itu merupakan ‘keberhasilan’ tersendiri bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut yang lebih luas dari daratan, isu kelautan memang selayaknya dianggap penting dan diperhatikan secara serius.

Kasus di Laut Tiongkok Selatan bukan hanya soal berebut ikan tetapi soal menegaskan dan menjaga hak berdaulat. Meski demikian, penegasan ini harus disertai pemahaman yang baik akan aspek legal dan teknisnya. Dengan kepedulian dan usaha keras untuk belajar, saatnya mengatakan “bukan hanya nenek moyangku, aku juga seorang pelaut”. Pelaut yang menjaga kedaulatan dan hak berdaulat dengan nasionalisme yang cerdas.

Penulis adalah I Made Andi Arsana, Ph.D, dosen Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, peneliti aspek geospasial hukum laut internasional, terutama terkait batas maritim antarnegara. Penulis bisa dihubungi di madeandi@ugm.ac.id atau https://madeandi.staff.ugm.ac.id