Hampir tiga tahun berlalu sejak kita diperkenalkan dengan sebuah istilah “Poros Maritim Dunia” (PMD), saatnya menanyakan kabarnya kini. Menariknya, setelah hampir tiga tahun, masih cukup banyak peneliti dan pembelajar kelautan yang gamang ketika menjelaskan makna PMD. Bisa jadi memang konsep dan kebijakannya sendiri yang masih perlu penajaman atau para peneliti ini yang kurang perhatian.
Ada dua hal penting dari cita-cita Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia (PMD). Pertama, keniscayaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang punya laut luas harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Kedua, Indonesia hendak menjadi acuan bagi dunia tentang isu kelautan dan kemaritiman. Sebagai negara besar yang lautnya luas, Indonesia ingin memainkan peran penting dalam sektor kelautan dan menjadi kiblat bagi dunia. Hal ini yang sering diungkapkan oleh pihak-pihak yang turut menggagas konsep PMD.
PMD, bagi sebagian masyarakat, dianggap sebagai kebangkitan kelautan dan kemaritiman Indonesia. Ada juga yang melihat ini sebagai kesadaran yang dibangkitkan oleh rejim pemerintahan saat ini. Dalam wawancara dengan sebuah media, saya menangkap bahwa Pemerintahan Jokowi dianggap sebagai satu-satunya rejim yang memberikan perhatian khusus pada kelautan. Kiprah Menteri Susi Pudjiastuti yang diberitakan oleh media masa begitu gencar nampaknya menjadi salah satu justifikasi anggapan ini. Benarkah demikian?
Ketika merdeka di tahun 1945, Indonesia mewarisi aturan Belanda dalam hal penguasaan atas laut. Saat itu, kewenangan atas laut hanya sampai tiga mil dari garis pantai masing-masing pulau. Akibatnya, ada bagian laut di antara pulau-pulau Indonesia yang tidak menjadi bagian dari Indonesia. Indonesia merupakan kelompok-kelompok pulau terserak yang dipisahkan oleh laut internasional. Ini tidak baik bagi Indonesia yang berbentuk kepulauan dan memotivasi Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja, di masa pemerintahan Presiden Soekarno, untuk mengklaim laut internasional tersebut menjadi bagian dari Indonesia. Dengan dukungan beberapa tokoh, Indonesia memperjuangkan klaim ini di forum internasional sampai akhirnya mendapat mengakuan tahun 1982 dengn disepakatinya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Di bawah pemerintahan Soeharto, Indonesia berhasil menguasai laut seluas sekarang ini melalui diplomasi di meja perundingan.
Mengakui pentingnya arti laut, Presiden Gus Dur membentuk kementerian kelautan untuk pertama kali tahun 1999 yang menjadi cikal bakal Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini. Pada saat pemerintahan Megawati, sebuah perjanjian batas maritim dengan Vietnam berhasil diselesaikan setelah mengalami proses selama sekitar 30 tahun. Ini merupakan pencapaian yang sangat baik di bidang kedaulatan dan hak berdaulat atas laut. Pada saat pemerintahan SBY, Indonesia menjadi penyelenggara World Ocean Conference tahun 2009 dan menginisiasi terbentuknya Coral Triangle Initiative (CTI). CTI ini merupakan kerjasama enam negara (Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua Nuguni, Solomon Islands, dan Timor Leste) untuk melindungi dan mengelola ekosistem laut di kawasan segitiga yang secara geograris mencakup keenam negara itu. Di kawasan segitiga inilah terdapat plasma nuftah kelautan yang sangat kaya dan penting bagi dunia. Singkatnya, Indonesia menjadi pelopor yang aktif untuk mengelola laut.
Memahami peran masing-masing pemimpin Indonesia yang telah lalu, ide PMD, secara substansi, bukanlah ide tiba-tiba. Ada kesinambungan proses yang kemudian muncul sebagai sebuah gagasan dan program besar. Bahwa Pak Jokowi yang bisa menyajikan konsep dan program ini sehingga menyerap perhatian masyarakat, itu adalah sebuah keberhasilan yang patut diapresiasi. Daya tarik Pak Jokowi bagi media memang harus diakui mampu menjadikan gagasan-gagasannya lebih cepat menyebar dan menjadi buah bibir. Tentu saja ini harus bisa dimanfaatkan secara positif.
Apa kabar PMD hari ini?
Ada banyak yang sudah dilakukan. Dalam hal melindungi sumberdaya perikanan Indonesia dari pencurian oleh asing, KKP kini serius menangani Illegal, Unregulated, Unreported (IUU) fishing. Dalam hal kedaulatan dan hak berdaulat, penetapan batas maritim terus berjalan melalui perundingan dengan negara tetengga. Untuk batas maritim dengan Malaysia, Presiden Jokowi bahkan telah menunjuk seorang utusan khusus untuk mempercepat penyelesaian. Dari segi konektivitas, pelabuhan-pelabuhan sudah dan sedang dibangun, untuk memastikan titik-titik di nusantara terhubung dengan lancar. Untuk kepentingan penegakan hukum dan koordinasi antarlembaga, Badan Keamanan Laut (Bakamla) telah diresmikan, sebagai ‘peningkatan’ dari Badan Koordinasi Kemanan Laut (Bakorkamla) yang didirikan pada saat pemerintahan SBY.
Apakah pekerjaan rumah sudah selesai? Tentu saja belum. Laut Indonesia yang luas ini memerlukan usaha pengelolaan yang tidak biasa. Pertama, penetapan batas maritim dengan negara tetangga perlu dipercepat karena pengelolaan tidak pernah bisa berjalan baik jika batas pengelolaannya tidak jelas, apalagi masih dalam sengketa. Kedua, keberhasilan menjaga sumberdaya dari intervensi asing harus diikuti dengan keberpihakan pada rakyat melalui fasilitas dan kebijakan yang positif bagi usaha pengeloaan sumberdaya laut. Kredit untuk nelayan, misalnya, harus menjadi fasilitas yang mudah diraih oleh masyarakat. Selain itu, peningkatan kapasitas pengolahan hasil laut tidak bisa ditunda karena Indonesia harus mampu menjual dengan nilai tambah, bukan saja bahan mentah.
Penelitian dan pendidikan terkait kelautan harus mendapat perhatian tinggi di Indonesia. Pemanfaatan sumberdaya laut untuk kepentingan non-tradisional seperti farmasi dan energi baru yang terbarukan harus menjadi prioritas. Di bidang pendidikan, perlu lebih banyak institusi pendidikan yang menaruh perhatian pada isu kelautan dan perikanan. Selain membentuk institusi dengan fokus kelautan dan perikanan, integrasi materi yang relevan dengan ini di pendidikan umum juga sangat penting. Sebagai contoh, fakultas ekonomi dan bisnis perlu mendapatakan kandungan materi kelautan dan kemaritiman yang memadai, misalnya terkait blue economy. Pendidikan survey dan pemetaan, seperti Teknik Geodesi perlu memperkut kemampuan survey hidrografi dan oceanografi sehingga bisa memetakan laut dengan lebih baik. Itu hanya sebagian contoh kecil. Yang paling penting, perlu cetak biru pengembangan kelautan dan perikanan yang jelas, terpadu dan tersosialisasi dengan baik kepada semua pemangku kepentingan.
Jadi, apa kabar PMD? PMD sedang berjalan pelan namun pasti pada jalurnya. Selain sudah banyak yang terjadi, masih sangat banyak yang harus dilakukan. Mewujudkan Indonesia sebagai PMD harus didasari semangat bahwa bukan cuma nenek moyangku, aku juga seorang pelaut.