Berebut Ikan di Laut Tiongkok Selatan

Pengantar
Sebuah kapal nelayan milik Tiongkok, Hwai Fey, ditengarai memasuki kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS) di dekat Kepulauan Natuna dan melakukan penangkapan ikan pada tanggal 19 Maret 2016. Kapal tersebut coba ditangkap oleh petugas Indonesia karena posisi kapal itu diyakini berada di perairan Indonesia, dalam hal ini di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Menariknya, kapal nelayan itu kemudian ‘diselamatkan’ oleh kapal lain milik Tiongkok yang seakan berlaku sebagai ‘pengawal’. Ditegaskan oleh ‘pengawal’ itu bahwa kapal nelayan tersebut tidak memasuki perairan Indonesia dan mereka beraktivitas di perairan Tiongkok. Dalam penyataan resmi oleh pejabat Tiongkok, konon kapal nelayan tersebut diyakini beraktivitas di tempat penangkapan ikan tradisional alias traditional fishing ground Tiongkok. Singkat cerita, Indonesia yakin kapal itu memasuki perairan Indonesia, Tiongkok juga yakin bahwa kapal itu masih berada di perairan Tiongkok. Gambar 1 berikut menunjukkan lokasi LTS yang dicuplik dari Peta NKRI 2015.

Gambar 1 Lokasi Laut Tiongkok Selatan
Gambar 1 Lokasi Laut Tiongkok Selatan (link gambar: http://bit.ly/NKRI-LTS)

Pertanyaan penting yang dijawab tulisan itu adalah “benarkah Tiongkok melakukan pencurian ikan di laut Indonesia?”. Secara khusus, tulisan ini membahas klaim laut oleh negara-negara di sekitar LTS, batas maritim yang sudah ada di LTS, insiden tanggal 19 Maret 2016, serta kemungkinan penyelesaian kasus.

Klaim dan Batas Maritim di LTS
Dewasa ini, klaim atas kawasan maritim diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut alias United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Indonesia dan Tiongkok sama-sama telah mengakui/meratifikasi UNCLOS dalam hukum domestik mereka. Artinya kedua negara telah mengakui ketentuan hukum yang ada di UNCLOS dan selayaknya menerapkan aturan tersebut dengan konsekuan.

Menurut UNCLOS, negara pantai seperti Indonesia dan Tiongkok berhak atas kawasan laut yang lebarnya diukur dari garis pangkal (umumnya garis pantai). Kawasan laut itu meliputi laut territorial (12 mil laut), zona tambahan (24 mil laut), ZEE (200 mil laut) dan Landas Kontinen alias dasar laut yang lebarnya bisa lebih dari 200 mil laut.

Indonesia memiliki hak maritim di LTS yang diukur dari pulau paling utara Kepulauan Natuna. Meskipun punya hak, perlu diingat bahwa di sekitar kawasan itu juga ada negara lain dengan hak yang sama, yaitu Malaysia dan Veitnam. Masing-masing tentu memiliki usulan sendiri-sendiri sesuai dengan hak mereka menurut UNCLOS. Seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam juga telah mengakui/meratifikasi UNCLOS.

Sementara itu, Tiongkok mengajukan klaim terhadap sebagian besar LTS dengan mengeluarkan peta tahun 1947. Klaim ini berupa garis putus-putus yang kini dikenal dengan nine-dashed line (NDL). Klaim ini tidak berdasarkan UNCLOS karena saat itu memang belum ada UNCLOS. Menurut Tiongkok, klaim ini bedasarkan alasan sejarah. Singkatnya, menurut Tiongkok, sebagian besar kawasan LTS itu memang milik nenek moyang Tiongkok sejak dulu kala. Yang menarik, kini Tiongkok sudah mengakui UNCLOS dan ternyata klaim tahun 1947 itu tidak disesuaikan dengan kaidah UNCLOS.

Klaim NDL ini tidak bedasarkan jarak tertentu dari daratan Tiongkok di LTS. NDL dibuat sedemikian rupa sehingga nampak tanpa dasar yang jelas tetapi memang melingkupi pulau-pulau kecil/karang di LTS yang dikenal dengan Kepulauan Spratly. Selain itu, Tiongkok juga tidak menjelaskan apakah NDL ini untuk mengklaim pulau saja atau juga untuk mengklaim kawasan laut di sekitar pulau-pulau tersebut. Klarifikasi yang diinginkan oleh negara lain atas NDL belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini.

Klaim NDL ini mendapat tentangan dari hampir semua negara di kawasan termasuk negara lain di dunia. Indonesia termasuk yang dengan tegas menolak hal ini dan meminta klarifikasi Tiongkok sejak tahun 1995. Sayangnya, Tiongkok tidak memberi jawaban yang memuaskan. Klaim NDL ini juga tidak akurat dari segi geospasial. Peta yang digunakan untuk menunjukkan klaim ini tidak menggunakan sistem koordinat yang memadai sehingga posisi potongan garis NDL menjadi tidak presisi/akurat.

Pada tahun 2009, untuk pertama kalinya Tiongkok menyajikan NDL ini dalam peta resmi berkoordinat cukup akurat ketika memprotes pengajuan landas kontinan oleh Malaysia dan Vietnam. Peta ini diajukan kepada PBB sehingga kini menjadi obyek yang berada di domain publik. Peta tahun 2009 itulah yang kini banyak digunakan berbagai pihak untuk menganalisis klaim maritim Tiongkok di LTS. Peta tahun 2009 itu ditunjukkan dalam Gambar 2 berikut:

Gambar 2 Nine-dashed Line, Klaim Tiongkon di Laut Tiongkok Selatan
Gambar 2 Nine-dashed Line, Klaim Tiongkon di Laut Tiongkok Selatan (link gambar: http://bit.ly/TiongkokLTS)

Jika berpedoman pada UNCLOS maka klaim Indonesia, Malaysia dan Vietnam memang menimbulkan tumpang tindih. Ketiganya tidak bisa mengklaim laut dengan leluasa seperti yang diatur UNCLOS karena ruang yang tidak cukup akibat jarak ketiganya yang berdekatan. Oleh karena itu, ketiganya harus berbagi laut dan sudah menetapkan garis batas maritim yaitu tahun 1969 (Id-My) dan tahun 2003 (Id-Vn). Batas maritim yang sudah ditetapkan ini hanya untuk berbagi dasar laut (landas kontinen) sedangkan garis batas untuk air laut (ZEE) belum ditetapkan.

Meski belum disepakati, Indonesia sudah mengajukan usulan batas ZEE yang diklaim secara sepihak (unilateral). Klaim sepihak inilah yang nanti menjadi dasar bagi Indonesia ketika berunding dengan negara tetangga yaitu Malaysia dan Vietnam. Klaim sepihak ini juga sudah dituangkan ke peta resmi Indonesia, salah satunya adalah Peta NKRI yang dikeluarkan bulan Mei 2015. Pada Peta NKRI 2015 ini jelas terlihat batas landas kontinen yang sudah ditetapkan dengan Malaysia dan Vietnam serta batas ZEE yang merupakan klaim sepihak Indonesia.

Menurut Indonesia, batas kewenangan Indonesia atas air laut di LTS ‘sudah jelas’ meskipun batas-batas ini baru sebatas klaim sepihak yang masih perlu disepakati dengan Malaysia dan Vietnam. Garis-garis inilah yang dijadikan dasar oleh Indonesia dalam mendefinisikan ruang lautnya, termasuk untuk mengelola sumber daya ikan. Secara khusus ruang laut Indonesia dibagi menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dan yang di LTS masuk dalam WPP 711. Klaim dan batas maritim yang sudah disepakati di LTS disajikan dalam Gambar 3 berikut.

Gambar 3 Garis batas dasar laut dan garis klaim ZEE di LTS
Gambar 3 Garis batas dasar laut dan garis klaim ZEE di LTS (link gambar: http://bit.ly/InaKlaim)

Sementara itu, Indonesia memang tidak pernah menganggap Tiongkok sebagai negara yang memerlukan batas maritim dengan Indonesia. Dengan istilah lain, Tiongkok bukanlah tetangga bagi Indonesia dalam hal batas maritim. Pada prinsipnya, negara yang dianggap tetangga dan memerlukan batas maritim adalah negara yang cukup dekat posisinya sehingga hak maritimnya tumpang tindih dengan Indonesia. Hak maritim yang dimaksud tentu saja yang ditentukan berdasarkan kaidah dalam hukum laut internasional yaitu UNCLOS. Bagi Indonesia, dan juga negara-negara di kawasan, hak maritim Tiongkok tidak sampai tumpang tindih dengan hak maritim Indonesia karena daratan yang dijadikan dasar mengukur klaim laut berada sangat jauh di utara. Jika tidak ada tumpang tindih hak maka tidak perlu ada penetapan batas maritim dan itu artinya bukan tetangga.

Indonesia VS Tiongkok
Tadi sudah jelas dikatakan, Indonesia tidak menganggap Tiongkok sebagai tetanga. Di mata Indonesia, NDL tidak ada dan penegasan ini sudah dilakukan ketika Tiongkok mengajukan peta ini lewat PBB tahun 2009. Menariknya, meskipun tidak diakui oleh negara lain, ternyata Tiongkok tetap bersikukuh dengan posisinya bahwa NDL adalah garis yang melingkupi wilayah atau yurisdiksi Tiongkok. Hal ini dibuktikan dengan aktivitas nelayan Tiongkok di lokasi-lokasi yang dilingkupi oleh NDL meskipun itu sangat amat jauh dari daratan utama Tiongkok.

Untuk menganalisis ruang laut antara Indonesia dan Tiongkok, tulisan ini menggunakan klaim resmi Indonesia di Peta NKRI dan NDL di Peta 2009 Tiongkok. Mungkin ada yang bertanya, bukankah NDL itu tidak diakui negara lain termasuk Indonesia, mengapa digunakan dalam analisis ini? Faktanya, Tiongkok tetap menggunakan NDL sebagai dasar aktivitas, termasuk ketika terjadi insiden di dekat Natuna. Sederhananya, NDL mungkin memang tidak ada secara legal tetapi secara de fakto tetap digunakan oleh Tiongkok. Untuk bisa melihat insiden ini secara geospasial (keruangan), peta tahun 2009 adalah sumber terbaik yang ada dan cukup ‘bisa dipertanggungjawabkan’ penggunaannya.

Perlu dingat lagi, NDL itu berupa garis putus-putus, bukan garis utuh, sehingga tidak mudah untuk melihat secara teliti kawasan yang dilingkupi oleh NDL. Oleh karena itu, untuk kepentingan analisis maka garis putus-putus itu perlu disambung terlebih dahulu. Bisa dipahami bahwa dalam menyambung garis ini ada seribu satu cara. Yang lebih penting, Tiongkok tidak pernah menegaskan apakah potongan garis ini harus disambung dan bagaimana cara menyambungnya. Semua pihak dibiarkan menebak-nebak dengan penasaran. Satu ‘petunjuk’ yang diberikan Tiongkok adalah berupa kehadirannya di kawasan laut yang ‘dilingkupi’ NDL, itupun dengan asumsi jika NDL itu disambung dengan mengikuti bentuk dasar NDL.

Jika disambung dengan garis kurva, NDL akan membentuk ruang seperti hurup U yang memuat sebagian besar LTS. Oleh karena itulah klaim Tiongkok ini juga dikenal dengan U-shaped line. Untuk kepentingan analisis ini, saya meyambungkan NDL sehingga membentuk kurva alias hurup U ini. Dari sini bisa terlihat dengan jelas bahwa ada ruang tumpang tindih antara klaim Indonesia dengan klaim Tiongkok di LTS. Jika diperhatikan, ruang tumpang tindih itu cukup luas seperti yang nampak pada Gambar 4.

Gambar 3 Garis batas dasar laut dan garis klaim ZEE di LTS
Gambar 4 Potensi tumpang tindih klaim (link gambar: http://bit.ly/overlapklaim)

Perlu saya tegaskan lagi, garis-garis batas air laut yang ada di LTS merupakan klaim sepihak yang belum disepakati. Indonesia mengajukan klaim sepihak, demikian pula Tiongkok. Bedanya, klaim Indonesia berdasarkan UNCLOS sedangkan Tiongkok tidak medasarkan klaimnya pada UNCLOS tetapi alasan sejarah. Dari perspektif legal, jelas klaim Indonesia lebih kuat. Selain itu, secara legal, sekali lagi, Indonesia bahkan menganggap klaim Tiongkok itu tidak ada.

Insiden 19 Maret 2016

Jika posisi kapal nelayan Tiongkok diplot di peta sesuai dengan koordinat yang diperoleh petugas Indonesia, maka posisinya adalah di dalam ZEE yang diklaim oleh Indonesia. Dalam perspektif Tiongkok, kapal itu berada di kawasan tumpang-tindih antara Indonesia dan Tiongkok. Bagi Indonesia, tentu saja posisi ini ada di dalam ZEE Indonesia, bukan di kawasan tumpang-tindih, karena bagi Indonesia, klaim Tiongkok itu tidak ada. Di sisi lain, Tiongkok rupanya berketetapan hati menggunakan NDL ini sebagai dasar beraktivitas dan posisi kapal nelayan ini berada sangat dekat dengan sisi terluar NDL. Hal ini seakan menyatakan bahwa Tiongkok memang menegaskan klaim lautnya berdasarkan NDL. Posisi estimasi Hwai Fey bisa dilihat di Gambar 5 berikut.

Gambar 5 Posisi estimasi kapal Hwai Fey milik Tiongkok
Gambar 5 Posisi estimasi kapal Hwai Fey milik Tiongkok (link gambar: http://bit.ly/HwaiFey)

Sebagai negara berdaulat yang mengklaim kawasan laut berdasarkan ketentuan hukum internasional (UNCLOS), Indonesia tentu tidak bisa membiarkan ada nelayan negara lain menangkap ikan di kawasan klaimnya. Bagi Indonesia, kawasan itu bahkan bukan sekedar klaim tetapi merupakan hak yang dilindungi oleh hukum laut internasional meskipun tentunya masih perlu penetapan dengan negara tetangga. Yang lebih penting, tetangga yang dimaksud adalah Malaysia dan Vietnam, bukan Tiongkok.

Ketika kapal nelayan Tiongkok ini ditangkap ternyata datang kapal besar yang seakan ‘mengawal’. Hal ini juga menimbulkan suatu persepsi bahwa mungkin memang ada kesengajaan Tiongkok untuk mengirimkan nelayan ke kawasan yang ‘bermasalah’ itu untuk menunjukkan kehadiran (presence). Untuk menjustifikasi tindakannya, peryataan resmi dari Tiongkok menegaskan bahwa nelayan itu beraktivitas di tempat penangkapan ikan tradisional atau traditional fishing ground milik Tiongkok. Secara sederhana, kawasan itu dianggap oleh Tiongkok sebagai tempat penangkapan ikan yang sudah digunakan oleh Tiongkok secara turun-temurun.

Lepas dari klaim Tiongkok yang tidak berdasarkan UNCLOS, usaha untuk melindungi warga negaranya tentu bisa dipahami sebagai kewajiban negara. Hal ini sebenarnya sudah terjadi juga tahun 2010, 2013 dan kini 2016. Banyak yang mengatakan ini sebagai siklus tiga tahunan, entah sengaja entah tidak. Atau bisa jadi ini adalah insiden yang diliput media dan ada banyak insiden lain yang tidak terberitakan. Entahlah.

Bagaimana Selanjutnya?

Indonesia tidak bisa membiarkan aktivitas nelayan Tiongkok di dekat Natuna di dalam ZEE yang diklaim Indonesia. Tindakan penangkapan dan protes formal oleh Kementerian Luar Negeri RI merupakan langkah yang tepat. Di satu sisi kita menunjukkan kehadiran kita di kawasan tersebut dan di sisi lain kita menguatkan posisi kita secara diplomatis. Sementara itu, perlu dipahami juga bahwa Tiongkok memang wajib melindungi warga negaranya, salah ataupun benar. Yang perlu dipahami adalah fakta bahwa garis-garis batas air laut yang ada di LTS adalah klaim sepihak, baik oleh Indonesia maupun Tiongkok. Bedanya, adalah dasar klaim tersebut. Indonesia menggunakan hukum laut internasional yaitu UNCLOS sementara Tiongkok mendasarkan pada alasan sejarah, meskipun sebenarnya Tiongkok sudah meratifikasi UNCLOS.

Apakah Tiongkok sebaiknya diajukan ke pengadilan internasional seperti International Court of Justice (Mahkamah Internasional) atau International Tribunal for the Law of the Sea? Ini perdebatan yang menarik. Menurut pendapat pribadi, garis klaim Indonesia, meskipun cukup kuat secara legal, tetap saja masih merupakan klaim sepihak. Malaysia dan Vietnam, yang dianggap sebagai tetangga resmi Indonesia, belum menyepakati garis usulan Indonesia. Ingat, garis batas maritim adalah soal kesepakatan, bukan soal klaim semata. Secara legal, garis batas ZEE Indonesia masih bisa diperdepatkan. Sementara itu, pembahasan insiden dengan nelayan Tiongkok ini tentu harus melibatkan status hukum garis batas ZEE Indonesia. Oleh karena itu, mengadukan kasus ini ke pengadilan internasional mungkin bukan langkah yang strategis. Sebaiknya Indonesia memilih cara lain seperti dialog dan komunikasi bilateral.

Semua pihak di Indonesia perlu memahami duduk perkara kasus ini secara jernih dan sesuai kaidah ilmu pengetahuan dan hukum yang tepat. Hal ini akan membuat respon yang padu dari berbagai pihak/institusi. Selain itu, momen ‘riuh rendah’ seperti ini mengindikasikan adanya kepedulian yang cukup tinggi dari semua pihak akan isu kelautan. Harus diakui bahwa isu kelautan dan kemaritiman kini menempati posisi penting di media dan itu merupakan ‘keberhasilan’ tersendiri bagi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan laut yang lebih luas dari daratan, isu kelautan memang selayaknya dianggap penting dan diperhatikan secara serius.

Kasus di Laut Tiongkok Selatan bukan hanya soal berebut ikan tetapi soal menegaskan dan menjaga hak berdaulat. Meski demikian, penegasan ini harus disertai pemahaman yang baik akan aspek legal dan teknisnya. Dengan kepedulian dan usaha keras untuk belajar, saatnya mengatakan “bukan hanya nenek moyangku, aku juga seorang pelaut”. Pelaut yang menjaga kedaulatan dan hak berdaulat dengan nasionalisme yang cerdas.

Penulis adalah I Made Andi Arsana, Ph.D, dosen Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, peneliti aspek geospasial hukum laut internasional, terutama terkait batas maritim antarnegara. Penulis bisa dihubungi di madeandi@ugm.ac.id atau http://madeandi.staff.ugm.ac.id

13 Replies to “Berebut Ikan di Laut Tiongkok Selatan”

  1. Ass.ww.Sdr.Andi,ada beberapa komentar saya atas tulisan sdr Andi.
    1.sebagai orang yang lama berkecimpung dalam masalah Batas Negara dan Unclos.kita tahu persis bahwa penarikan garis model Nine Dash Line (NDL) tidak dikenal dalam Unclos sehingga Negara RI tidak akan pernah mengakui NDL.
    2.NDL adalah garis putus2.mengapa dalam Analisis sdr Andi ‘menyambung’ garis dengan cara U-Shape?(walaupun sdr Andi menyebut ada ‘Seribu cara’ penarikan garis),dengan cara tersebut se-olah2 insiden tersebut memang berada ‘di wilayah Sengketa’ antara RI-Tiongkok.padahal ini tidak benar.Karena kejadian tersebut jelas berada di wilayah hak berdaulat Indonesia.Analisis seperti ini Ngawur.(ma’af).mengapa sdr Andi misalnya tidak ‘menyambung’ dengan bentuk ‘U-Shape terbalik’ atau ‘A-Shape’?.
    3.saya hanya khawatir bagi masyarakat yang belum banyak memahami Unclos.dengan adanya Analisis dari Ilmuwan Indonesia yang berasal dari kampus besar UGM.dengan analisis gambar2 peta dengan ‘garis putus yang disambung’ akan membenarkan kejadian tersebut berada diwilayah sengketaantara RI-Tiongkok.Dalam hal ini,Tiongkok harus berterima kasih pada sdr.Andi.
    4.Pengalaman saya dalam berulang kali dulu ikut berunding batas Maritim Indonesia dgn Vietnam.di wilayah LCS.Para ilmuan2 Vietnam ber ulang2 kali membuat analisis garis2 yang barangkali ‘aneh’ menurut Indonesia (Z-Shape,’garis sungai purba dalam laut’ yang menjorok kewilayah Indonesia’ dll) yang penting garis peta yang dibuat mereka dapat mendukung argumen klaim mereka.minimal membuat klaim yang dapat melemahkan iawan.dan para ilmuan tersebut tidak pernah menganalisis yang merugikan negaranya.
    5.saya sampaikan ini agar jangan sampai sampai gambar2 peta analisis serta saran Sdr Andi pada Alinea terakhir ( ‘Agar Pelaut yang menjaga kedaulatan dan hak2 berdaulat Indonesia dengan Nasionalisme yang cerdas’, ma’af saya tidak mengerti maksud ‘nasionalisme yang cerdas’).dapat mengganggu keyakinan para Penegak hukum kita yang bertugas dilaut.bahwa mereka memang sudah benar menjaga diwilayah kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.dan bukan ‘didaerah sengketa’ RI-Tiongkok seperti peta Analisis sdr Andi diatas.
    terima kasih.

    1. Dr Rusdi Ridwan ysh,

      Terima kasih atas masukan yang baik dari Bapak. Saya yakin pembaca akan mendapat informasi ‘penyeimbang’ yang bermanfaat. Dengan menampilkan komentar Bapak di website ini saya kira menjadi bukti respek saya terhadap pendapat Bapak. Analisis yang Bapak sampaikan dalam komentar ini sungguh baik dan akan lebih baik jika disebarkan ke khalayak. Seperti yang saya tulis di atas, saya yakin ada berbagai ruang untuk berbagai macam analisis dan analisis Bapak adalah salah satu yang sangat layak diperhatikan. Saya juga pernah membuat analisis ‘aneh’ soal NDL. Mungkin nanti saya bisa tampilkan di sini.

      Terima kasih.

      1. Ass.ww.Sdr.Andi,
        1.Terima kasih sdr.Andi,sebagai pembanding saya kira baik juga dibaca pendapat dari Prof.Dr.Hikmahanto Juana (guru besar Hukum Laut UI), dalam harian Kompas,Rabu,30 Maret 2016.halaman 6,dengan judul “Sembilan Garis Putus Tiongkok”.Dan tulisan saudara Ernesto Simanungkalit (Diplomat RI),juga pada harian Kompas,Kamis 31 Maret 2016.halaman 7,dengan judul “Tiongkok,UNCLOS 1982”.
        2.Saya tidak apriori dengan tulisan sdr Andi,hanya analisis dengan menyambung NDL dengan ‘U-Shape line’ ini,dan menggambarkan diatas peta,serta digabung dengan posisi kapal sewaktu kejadian tersebut, akan bisa difahami publik bahwa kejadian tersebut ‘memang berada’ didaerah klaim tumpang tindih (super Imposed claims) RI-Tiongkok.padahal NDL sendiri tidak ada dasar hukumnya.bagaimana kita dapat menyambung garis yang tidak ada dasar hukum dan dijadikan analisis?.peta analisis sdr Andi dapat dikutip berbagai fihak,dan dapat merugikan indonesia.
        3.Saya hanya ingin mengutip pendapat Prof.Hikmahanto dalam tulisannya (Kompas,30/3/2016) “Indonesia harus tegas.Indonesia harus tidak mengakui konsep Traditional Fishing Grounds Tiongkok yang ber arti tidak mengakui Sembilan Garis Putus” dan pendapat Presiden Joko Widodo pada saat berada di Jepang dan akan berkunjung ke Tiongkok (22/3/2015) menyatakan Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional apapun atas Sembilan Garis Putus.
        4.saya kira,BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan),perlu mengundang sdr.Andi dan Pakar2 diatas serta Kemlu dan Kem KP,untuk diskusi lebih jauh masalah ini,dan dapat memberi masukan pada pemerintah dan DPR.
        terima kasih.
        wass.

        1. Pak Rusdi Ridwan ysh,

          Terima kasih lagi atas banyak masukan berharga. Semoga pembaca tulisan saya cukup telaten membaca dan memiliki pemahaman yang komprehensif seperti keinginan saya, tidak hanya sepotong-sepotong. Saya juga sarankan pembaca membaca tuisan lain yang direkomendasikan Pak Rusdi, sebagai tokoh yang paham sekali dan berpengalaman soal perbatasan.

          Terima kasih
          Andi

  2. Bapak Dr. Rusdi Ridwan, Bapak I Made Andi Arsana, terimakasih banyak atas tulisan tentang batas2 kelautan di Laut Tiongkok Selatan, paling tidak menjawab sedikit rasa panasaran apa sih yang di persoalkan. Unik dan rumit juga jika masing masing negara mengklaim wilayah kelautan dengan standard yg berbeda. Idealnya kita mengharapkan masing masing negara dapat menahan diri untuk tidak saling menyinggung batas wilayah sesuai dengan klaim sepihak, sampai benar benar clear cocok dan sesuai, serta setuju bersama. Namun kenyataannya tidak demikian. Kalau semua mau duduk berunidng mensinkronkan standard batas masing masing (kalau mungkin) bisa aman. Sekali lagi terimakasih Bapak Bapak. Wassalam Risda Djambek

    1. Ass.ww.mbak Risda,
      1.terima kasih tanggapannya.Memang garis batas antara dua negara,kelihatannya hanya ‘garis maya’,yang digambarkan diatas peta.tetapi dari pengakuan hukum internasional atas garis tersebut,ber implikasi pada kekayaan alam laut dibawahnya.kalau ‘garis klaim NDL Tiongkok’ (yang tidak ada dasar hukumnya) ini di akui,Tiongkok akan dapat mengeruk kekayaan alam bawah laut Indonesia (termasuk ikan) yang ber nilai milyaran dolar setiap tahunnya.
      2.Perundingan batas Maritim antara negara yang bertetangga memang harus dilakukan (Indonesia mempunyai batas maritim dengan 10 negara tetangga),dan perundingan batas maritim (Landas Kontinen dan ZEE),telah sangat banyak dilakukan, walaupun tidak mudah.karena berbagai kepentingan negara atas wilayah yang diklaimnya.contohnya perundingan batas Landas Kontinen RI-Vietnam baru dapat diselesaikan setelah berunding terus menerus selama 30 tahun,sejak tahun 1974 sd 2004.dasar hukum yang digunakan dalam perundingan adalah UNCLOS.
      3.terima kasi atas pendapat mbak Risda.
      wass.

  3. maaf sebelumnya pak saya ingin bertanya hukum apakah yg seharusnya berlaku pada tragedi ini hukum internasional kah atau hukum nasional…
    mohon penjelasannya pak,terima kasih ?

  4. Mas Andi, very intersting article. Saya punya komentar untuk kalimat ini:
    “Ingat, garis batas maritim adalah soal kesepakatan, bukan soal klaim semata. Secara legal, garis batas ZEE Indonesia masih bisa diperdepatkan. Sementara itu, pembahasan insiden dengan nelayan Tiongkok ini tentu harus melibatkan status hukum garis batas ZEE Indonesia”

    Sekalipun ZEE di sekitar TKP belum didelimitasi, sudah dapat dipastikan bahwa keseluruhan ZEE di segmen ini belong to RI-Malaysia-Vietnam, dan BUKAN RRT. Di lain pihak, TKP insiden berada pada lokasi ZEE yang diklaim oleh RI tapi tidak diklaim oleh Malaysia dan Vietnam. Dalam hukum internasional, the absence of concurrent claim (dengan ignoring NDL), menciptakan ‘recognition’ atau at least “acquiescence”. Artinya, sekalipun tanpa delimitasi, maka area tsb sudah dapat dikatakan sebagai ZEE RI. Contoh: RI belum memiliki batas ZEE dengan Malaysia di Laut Sulawesi, tapi Malaysia tidak mungkin melarang RI menangkap ikat di ZEE yang berada diular klaim Malaysia.

    Jika lokasi TKP ini yang ingin dipersolkan ke mekanisme UNCLOS ( hanya bisa ke Arbitral Tribunal Annex VII, bukan ke ICJ atau ITLOS), menurut saya tidak dibutuhkan suatu “clear legal delimitation”.

    But it is a very well described article. Bravo mas.

    1. Pak Damos ysh,

      Terima kasih atas masukan dan pencerahan yang keren. Masukan yang sangat baik dan saya yakin memperkaya para pembaca.
      Kalau sudah ahlinya yang komen memang langsung josh dan jitu Pak hehe. Salam hormat!

      Andi

Leave a Reply to Dr.Rusdi Ridwan. Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *